Kisah - Kisah Unik

Salah seorang murid Imam Ahmad bernama Abu Thalib mengatakan: “Saya mendengar Imam Ahmad ditanya tentang sebuah kaum yang meninggalkan hadits dan cenderung kepada pendapat Sufyan (salah seorang ulama kala itu).” Maka Imam Ahmad berkata: “Saya meresa heran terhadap sebuah kaum yang tahu hadits dan tahu sanad hadits serta keshahihannya lalu meninggalkannya, lantas pergi kepada pendapat Sufyan dan yang lainnya padahal Allah berfirman: “Maka hendaklah berhati-hati orang yang menyelisihi perintah Rasul-Nya untuk tertimpa fitnah atau tertimpa adzab yang pedih.” (An-Nur: 63). Tahukah kalian apa arti fitnah? Fitnah adalah kufur. Allah berfirman . “Dan fitnah itu lebih besar daripada pembunuhan.” (Fathul Majid: 466)
=============================================
Abdurrahman bin Harmalah mengisahkan, seseorang datang kepada Said bin Al Musayyib mengucapkan salam perpisahan untuk haji atau umrah, lalu Said mengatakan kepadanya: “Jangan kamu pergi hingga kamu shalat dulu karena Rasulullah bersabda: ‘Tidaklah ada yang keluar dari masjid setelah adzan kecuali seorang munafik, kecuali seorang yang terdorong keluar karena kebutuhannya dan ingin kembali ke masjid.’ Kemudian orang itu menjawab: “Sesungguhnya teman-temanku berada di Harrah,” lalu keluarlah dia dari masjid, maka Said terus terbayang-bayang mengingatnya sampai beliau dikabari bahwa orang tersebut jatuh dari kendaraannya dan patah pahanya. (Sunan Ad Darimi 1/119, Ta’dhimus Sunnah hal. 31, Miftahul Jannah hal.134)
==============================================
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail At Taimi mengatakan, dirinya membaca pada sebagian kisah-kisah bahwa sebagian ahlul bid’ah ketika mendengar sabda Nabi:
“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka janganlah ia celupkan tangannya ke bejana sebelum mencucinya terlebih dahulu karena sesungguhnya ia tidak tahu di mana tangannya bermalam.” (Shahih, HR Al Bukhari dan Muslim)
Maka ahlul bid’ah tersebut mengatakan dengan nada mengejek: “Saya tahu di mana tanganku bermalam, tanganku bermalam di kasur.” Lalu paginya dia bangun dari tidurnya dalam keadaan tangannya sudah masuk ke dalam duburnya sampai ke lengannya.
At Taimy lalu berkata: “Maka berhati-hatilah seseorang untuk menganggap remeh Sunnah. Lihatlah bagaimana akibat jeleknya .”
=============================================
Al Qadhi Abu Tayyib menceritakan kejadian yang ia alami, katanya: “Kami berada di sebuah majlis kajian di masjid Al Manshur. Datanglah seorang pemuda dari daerah Khurasan, ia bertanya tentang masalah musharat lalu dia minta dalilnya sehingga disebutkan dalilnya dari hadits Abu Hurairah yang menjelaskan masalah itu. Dia -orang itu bermadzhab Hanafi – mengatakan: ‘Abu Hurairah tidak bisa diterima haditsnya…’ Maka belum sampai ia tuntaskan ucapannya tiba-tiba jatuh seekor ular besar dari atap masjid sehingga orang-orang loncat karenanya dan pemuda itu lari darinya. Ular itupun terus mengikutinya. Ada orang mengatakan: ‘Taubatlah engkau! Taubatlah engkau!’ Kemudian dia mengatakan ‘Saya bertaubat.’ Maka pergilah ular itu dan tidak terlihat lagi bekasnya.” Adz Dzahabi berkata bahwa sanad kisah ini adalah para imam.
============================================
Berkata Abu Ja’far Muhammad bin Ali, pencatat Abu Zur’ah : “Kami mendatangi Abu Zur’ah di Ma’ Syahran (sebuah nama tempat) saat dia menghadapi sakratul maut, sementara disisinya terdapat Abu Hatim, Ibnu Warih dan Munzir bin Syazan serta yang lainnya. Lalu mereka menyebut-nyebut hadits tentang talqin :
“Talqinlah (tuntunlan) orang yang sedang menghadapi kematiannya dengan bacaan Laa ilaaha illallah “
Akan tetapi mereka agak sungkan untuk mentalqinkan Abu Zur’ah. Akhirnya mereka sepakat untuk meriwayatkan hadits tersebut. Maka berkatalah Ibnu Warih: “ telah meriwayatkan kepada kami Abu ‘Ashim, dari Abdul Hamid bin Ja’far dari Shalih…. dan tatkala menyebut Ibnu Abi….., dia tidak dapat meneruskannya-, maka berkatalah Abu Hatim: “telah meriwayatkan kepada kami Bundaar dari Abu ‘Ashim dari Abdul Hamid bin Ja’far dari Shalih, kemudian dia tidak dapat meneruskannya juga, sementara yang lainnya terdiam saja, maka berkatalah Abu Zur’ah yang sedang dalam sakaratul maut seraya membuka matanya, : Telah meriwayatkan kepada kami Bundaar, dari Abu ‘Ashim, dari Abdul Hamid, dari Shalih Ibnu Abi Uraib dari Katsir bin Murroh dari Mu’az bin Jabal dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Siapa yang akhir perkataannya La ilaaha illallah, maka dia akan masuk syurga”  setelah itu ruhnya keluar dari dirinya. Semoga Allah merahmatinya
=====================================
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan: “Barangsiapa di antara kalian yang ingin meneladani, hendaklah meneladani para Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya mereka adalah ummat yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, dan paling lurus petunjuknya, serta paling baik keadaannya. Suatu kaum yang Allah telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya, untuk menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan mereka serta ikutilah atsar-atsarnya, karena mereka berada di jalan yang lurus.” [Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Baar dalam kitabnya Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih II/947 no. 1810, tahqiq Abul Asybal Samir az-Zuhairy]
======================================
Imam al-Auza’i rahimahullah (wafat th. 157 H) mengatakan: “Bersabarlah dirimu di atas Sunnah, tetaplah tegak sebagaimana para Shahabat tegak di atasnya. Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan, tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya. Dan ikutilah jalan Salafush Shalih, karena akan mencukupi kamu apa saja yang mencukupi mereka.” [Syarh Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah 1/174 no. 315]
Beliau rahimahullah juga berkata: “Hendaklah kamu berpegang kepada atsar Salafush Shalih meskipun orang-orang menolaknya dan jauhkanlah diri kamu dari pendapat orang meskipun ia hiasi pendapatnya dengan perkataannya yang indah.” [Imam al-Aajury dalam as-Syari’ah I/445 no. 127, di-shahih-kan oleh al-Albany dalam Mukhtashar al-‘Uluw lil Imam adz-Dzahaby hal. 138, Siyar A’laam an-Nubalaa’ VII/120]
========================================
Muhammad bin Sirin rahimahullah (wafat th. 110 H) berkata: “Mereka mengatakan: ‘Jika ada seseorang berada di atas atsar (sunnah), maka sesungguhnya ia berada di atas jalan yang lurus.” [HR. Ad-Darimy I/54, Ibnu Baththah dalam al-Ibanah ‘an Syari’atil Firqatin Najiyah I/356 no. 242. Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh al-Laalikaa-iy I/98 no. 109]
========================================
Imam Ahmad rahimahullah (wafat th. 241 H) berkata: “Prinsip Ahlus Sunnah adalah berpegang dengan apa yang dilaksanakan oleh para Shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in dan mengikuti jejak mereka, meninggalkan bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” [Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh al-Laalikaa-iy I/175-185 no. 317]
========================================
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: “Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hamba-Nya dan Allah mendapati hati Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik hati manusia, maka Allah pilih Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya. Allah memberikan risalah kepadanya, kemudian Allah melihat dari seluruh hati hamba-hamba-Nya setelah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka didapati bahwa hati para Shahabat merupakan hati yang paling baik sesudahnya, maka Allah jadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mereka berperang atas agama-Nya. Apa yang dipandang kaum Muslimin (para Shahabat Rasul) itu baik, maka itu baik pula di sisi Allah dan apa yang mereka (para Shahabat Rasul) pandang jelek, maka jelek di sisi Allah” [HR. Ahmad (I/379), dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir (no. 3600). Lihat Majma’-uz Zawaa-id (I/177-178)]
============================================
“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahlul Kitab telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan sesungguhnya agama ini (Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam Neraka dan satu golongan di dalam Surga, yaitu al-Jama’ah.” [HR. Abu Dawud (no. 4597), Ahmad (IV/102), al-Hakim (I/128), ad-Darimy (II/241), al-Aajury dalam asy-Asyari’ah, al-Laalikaa-iy dalam as-Sunnah (I/113 no.150). Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan hadits ini shahih masyhur. Di-shahih-kan oleh Syaikh al-Albany. Lihat Silsilatul Ahaadits Shahihah (no. 203 dan 204)]
==========================================
Khalifah berkata, “Wahai Abu Hazim, mengapa kita membenci kematian?!”
“(Itu) karena kita telah memakmurkan dunia kita dan menghancurkan akhirat kita, sehingga kita benci untuk keluar dari kemakmuran menuju kehancuran”, jawabnya.
“Engkau benar”, kata khalifah…kemudian beliau menyambung perkataannya, “Wahai Abu Hazim –seandainya aku tahu- apakah yang akan kita dapatkan di sisi Allah di hari esok (kiamat)?”
Abu Hazim menjawab, “Paparkanlah amalan engkau kepada Kitab Allah AWJ, niscaya engkau akan menemukan jawabannya.”
“Dimanakah aku bisa menemukannya dalam Kitab Allah ta’ala?” tanya khalifah.
Abu Hazim menjawab, “Engkau bisa menemukannya dalam firman-Nya yang maha tinggi, “Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan. Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka” (Surat al-Infithaar: 13-14).
“Kalau demikian, dimanakah rahmat Allah?” tanya khalifah lagi.
Abu Hazim menjawab, “Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat kebajikan”( Surat al-A’raf: 56).
Khalifah berkata, “Seandainya aku tahu, bagaimanakah kita besok akan menghadap Allah AWJ?.”
Abu Hazim menjawab, “Adapun orang yang berbuat baik, ia bagaikan orang yang pulang dari bepergian jauh mendatangi keluarganya (dipenuhi kerinduan untuk berjumpa, penj.)…Adapun orang yang berbuat jahat, Ia bagaikan budak yang kabur yang diseret menghadap tuannya dengan paksa (sehingga ia merasa ketakutan).”
Serta merta khalifah menangis, suara tangisannya meninggi dan bertambah keras. Kemudian beliau berkata, “Wahai Abu Hazim, bagaimana (caranya) agar kita menjadi baik?.”
“Tinggalkan takabbur dan berhiaslah dengan maruah (sopan santun)”, jawabnya.
Khalifah berkata lagi, “Adapun dengan harta ini, bagaimana jalan menuju takwa kepada Allah padanya?.”
Abu Hazim menjawab, “(Yaitu) apabila engkau mengambilnya dengan cara yang haq…menyerahkannya kepada yang berhak…engkau bagi secara merata dan engkau berbuat adil di antara rakyatmu.”
Khalifah berkata, “Wahai Abu Hazim, beritahukan kepadaku siapakah manusia yang paling mulia?.”
“Mereka adalah orang yang memiliki maruah dan ketakwaan” jawabnya.
Khalifah berkata, “Wahai Abu Hazim, perkataan apakah yang paling adil?”
“Yaitu kalimatul haq yang diucapkan oleh seseorang dihadapan orang yang ia takuti (keburukannya) dan dihadapan orang yang ia harapkan (kebaikannya)” jawabnya.
Khalifah bertanya, “Doa apakah yang paling cepat dikabulkan wahai Abu Hazim?”
“Yaitu doa orang baik untuk orang-orang baik” jawabnya.
Khalifah berkata, “Shadaqah apakah yang paling utama?.”
Ia menjawab, “(Yaitu) hasil kerja keras orang yang memiliki sedikit harta yang ia letakkan (shadaqahkan) pada tangan orang yang fakir miskin tanpa diiringi dengan mengungkit-ungkitnya dan menyakiti (perasaannya).”
Khalifah bertanya, “Siapakah orang yang paling cerdik dan berakal, wahai Abu Hazim?.”
“Yaitu seseorang yang mendapatkan (amal) berupa ketaatan kepada Allah ta’ala sehingga ia mengamalkanya, kemudian ia membimbing manusia kepadanya”, jawabnya.
“Dan siapakah orang yang paling tolol?” tanya khalifah lagi.
“Yaitu seseorang yang tunduk bersama hawa nafsu temannya sedangkan temannya adalah orang zalim, sehingga ia menjual akhiratnya dengan dunia orang lain” jawabnya.
Khalifah berkata, “Maukah kamu menemani kami –wahai Abu Hazim- sehingga kamu bisa mengambil (upah) dari kami dan kami bisa mengambil (nasehat) darimu.”
Ia menjawab, “Tidak, wahai Amirul Mukminin.”
“Mengapa?” tanya khalifah.
Ia manjawab, “Saya khawatirkan akan sedikit menyandarkan diri kepadamu, sehingga Allah akan menimpakan kepayahan dunia dan adzab akhirat kepadaku.”
Khalifah berkata, “Sampaikan hajatmu kepada kami wahai Abu Hazim.”
Ia terdiam dan tidak menjawab.
Khalifah lantas mengulang perkataannya “Sampaikan hajatmu kepada kami wahai Abu Hazim, niscaya kami akan menunaikannya untukmu, seberapa pun besarnya.”
Ia menjawab, “Hajatku adalah agar engkau menyelamatkan saya dari neraka dan memasukkan saya ke dalam surga.”
“Itu bukan wewenangku wahai Abu Hazim” kata khalifah.
Abu Hazim berkata, “Saya tidak memiliki hajat selain itu wahai Amirul Mukminin.”
Maka khalifah berkata, “Doakanlah aku wahai Abu Hazim.”
Ia pun berdoa, “Ya Allah, apabila hambamu Sulaiman termasuk wali-waliMu, maka permudahkanlah ia untuk (mengerjakan) kebaikan dunia dan akhirat…Namun, apabila ia termasuk musuh-musuhMu, maka perbaikilah ia dan tunjukilah ia kepada apa yang Engkau cintai dan ridlai.”
Maka, seseorang dikalangan para hadirin ada yang berkata, “Alangkah buruknya apa yang kamu katakan sejak kamu masuk menemui Amirul Mukminin…Kamu telah menjadikan khalifah muslimin termasuk musuh-musuh Allah dan kamu telah menyakitinya.”
Abu Hazim berkata, “Bahkan, alangkah buruknya apa yang kamu katakan, sungguh Allah telah mengambil janji dari para ulama agar mereka selalu mengatakan kalimatul haq, Allah berfirman, “Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia dan jangan kamu menyembunyikannya.” (Surat Ali Imran: 187)
sumber: www.alsofwah.or.id , www.almanhaj.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kalo komentar jangan emosi