Sains di Dunia Islam

SAINS DI DUNIA ISLAM


 

Terbentang dari Indonesia hingga Maroko, dan dari Uganda sampai Kazakhstan, dunia Islam kini dihuni sekitar 1,3 miliar penduduk. Jumlah tersebut amat besar. Namun sebaliknya akan tampak kecil jika ditengok capaian sains dan teknologinya saat ini.


 

Dunia Islam hanya memiliki satu persen peneliti dimana kontribusinya sekitar 0,1 persen atas penemuan baru di dunia tiap tahun. Capaian tersebut tak mengherankan sebab dunia Islam tak bergairah mendanai riset. Bahkan dari data resmi UNESCO dan Bank Dunia tak semua negara memiliki indikator sains yang memadai. Sebanyak 20 negara pada kurun 1996-2003 rata-rata hanya menganggarkan pengeluaran R&D sebesar 0.34 persen dari GDP, lebih rendah dari rata-rata dunia sebesar 2,63 persen.


 

Pada periode yang sama dunia Islam rata-rata hanya memiliki 500 peneliti tiap satu juta penduduk (bandingkan dengan Finlandia, Iceland, Swedia, dan Jepang di mana rata-rata lebih dari 5000). Sedangkan dilihat dari jumlah publikasi ilmiah, data yang dikumpulkan US National Science Foundation mencatat, rata-rata di dunia Islam dihasilkan 13 publikasi tiap satu juta penduduk. Sementara rata-rata dunia sebanyak 137 artikel.


 

Sejalan dengan rendahnya penguasaan sains, daya saing teknologi dunia Islam juga tak menggembirakan seperti tercermin dari kandungan teknologi tinggi (high-tech) pada produk ekspornya. Sebagai pengecualian yaitu Malaysia (58 persen) yang menempati ranking 5 dunia, sejajar dengan Singapura dan Philipina. Sedangkan yang kandungannya di atas 10 persen, baru Indonesia (14 persen) dan Maroko (11 persen).


 

Dari berbagai defisit sains dan teknologi tersebut, hal tak pantas ditunjukkan negara-negara Teluk. Meskipun kaya, negara seperti Arab Saudi, Kuwait, dan Qatar hanya mengeluarkan sekitar 0,2 persen dari GDP untuk R&D. Negara-negara ini bahkan tak tertarik memacu riset seperti untuk pengembangan teknologi minyak, desalinasi air laut, atau sekadar memperbaiki reproduksi unta untuk kepentingan olahraga tradisional yang populer di sana.


 

Beberapa negara Muslim seperti Tunisia, Arab Saudi, dan Mesir, memang memiliki anggaran pendidikan yang relatif besar. Namun itu semua tidak mencakup riset yang bisa mendorong inovasi teknologi. Tak heran jika pada abad ke-20 lalu, hanya ada dua ilmuwan dari dunia Islam yang memenangkan hadiah Nobel: Abdul Salam asal Pakistan (Fisika, 1979) dan Ahmad Zewail dari Mesir (Kimia, 1999). Ironisnya, keduanya justru melakukan riset mereka di negara Barat.


 

Dewasa ini, kemunduran sains hampir merata di seluruh dunia Islam. Keadaan ini tentu saja amat kontras dengan pencapaian para sarjana Muslim di era khilafah. Inilah tantangan yang harus dijawab generasi Muslim saat ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kalo komentar jangan emosi